Friday 11 February 2011

A Satire for Valentine


Oke, karena bulan ini adalah bulan februari. Mari kita bahas tentang valentine.  Hari yang biasanya terdengar begitu spesial di kalangan anaku muda yang mendambakan pasangan di hari kasih sayang. Valentine begitu mendunia sehingga anak kecil yang masih senang main prosotan pun tahu apa itu hari valentine.

Seharusnya, valentine dirayakan dengan suka cita. Karena berhubungan dengan kasih sayang, cinta dan aneka macam variasi dimensi berbentuk buah hati. Tapi, di awal bulan ini. Ada sindrom baru bernama “Galau Februari”

Entah mengapa dinamakan demikian.  Tapi, teman-teman di facebook sering menggunakan kata “Galau Februari” di status-status mereka. Dan menakjubkannya jumlahnya nggak cuma satu dua. Tapi, juga mencapai belasan.



Aku sendiri tidak tahu sejak kapan kalimat ini mulai didengungkan. Tapi, mereka sama-sama merasakan galaunya bahkan sebelum bulan februari. Entah itu ekspresi kesepian karena tidak memiliki pasangan di bulan valentine. Atau mereka cuma ikut-ikutan saja seperti aku yang kadang mengatakan galau februari di status facebook hanya sebagai kalimat iseng doang.

Ahahaha…. Yah mungkin kebanyakan seperti itu. Tapi, setelah beberapa teman yang aku survei melalui komentar di status mereka. Secara intrisik mereka mengindikasikan kalau mereka membutuhkan pasangan di bulan februari. Lucu ya? Kenapa harus mencari pacar di bulan tertentu yang bahkan tanggal merahnya begitu sedikit.
Kalau dipikir-pikir. Bulan februari tidak memiliki tanggal merah pasti seperti yang dimiliki Desember atau Januari yang sudah pasti memiliki jatah Natal dan Tahun Baru. Februari tidak memiliki tanggal merah pasti. Tanggal 14 Februari pun tidak bisa ditanggalmerahkan meskipun mereka membawa ribuan orang ke gedung DPR/MPR. Sebab itu memang bukan tradisi kita. Anehnya, iklan dan produk-produk media selalu mendengang-dengungkan tanggal 14 Februari sebagai hari kasih sayang. Entah itu melalui media film, iklan di koran, televisi, sinetron, dan seabrek media pengubah budaya sosial lainnya.

Okelah, kalau ada yang berpikiran seperti itu. Tapi, kok aku sendiri tidak begitu perhatian dengan bulan Februari. Kalau ada sebagian orang yang menganggap bulan itu spesial. Sayang sekali aku bukan golongan mereka. Kalau aku pikir dengan otak kasar. Bulan Februari nampak seperti musim kawin saja. Dimana mereka mengharuskan mencari pasangan di bulan tertentu dan melupakannya di hari-hari berikutnya. Menganggap satu bulan itu begitu penuh dengan cinta, lalu bulan lainnya diisi dengan rutintas dan penuh dengan hal yang biasa.

Yah, mungkin otak remaja zaman sekarang sudah mulai bergeser sedikit demi sedikit. Sehingga mengharuskan mereka memiliki pasangan di musim kawin (Valentine days). Terdengar kasar ya? Tapi, yah kalau aku memang menganggapnya demikian.

Kalau ada yang mengatakan hal itu disebabkan karena aku tidak pernah merasakan indahnya pacaran. Well, hal itu memang benar karena aku memang tidak pernah memikirkan pacaran dari dulu. Mungkin baru terpikir satu dua tahun belakangan ini saat aku tidak lagi menggunakan uang dari orang tua untuk memenuhi kebutuhanku. Entah itu hanya untuk makan ataupun bersenang-senang.

Terus terang aku paling tidak suka membelanjakan uang dari orang tua untuk bersenang-senang. Aku rasa hal itu terlalu egois. Aku hanya akan bersenang-senang dengan uang yang aku hasilkan sendiri. Tidak pernah aku menggunakan uang dari orang tua untuk bersenang-senang. Kecuali, aku menggantinya di kemudian hari.

Maka dari itu aku tidak pernah berpikir untuk pacaran terlebih dahulu sementara aku belum bisa menghasilkan apapun untuk diriku sendiri. Terlebih lagi untuk orang tua. Aku hanya akan menggunakan uang dari orang tua untuk makan, minum, dan keperluan yang penting-penting saja. Bukan untuk jalan-jalan, beli kartu, mentraktir teman di mall, dan sebagainya. Bahkan, hanya untuk study tour.
Percaya atau tidak. Aku tidak pernah merasakan study tour. Orang tuaku termasuk golongan tidak mampu. 
Jadi, mereka rasa study tour itu tidak begitu penting. Atau sebenarnya mereka ingin menyertakan aku di dalam study tour. Tapi, karena mereka tidak punya uang. Jadi, mereka mendoktrin diriku yang masih kecil agar mengabaikan study tour karena hanya membuang-buang uang. Hanya untuk menutupi ketidakmampuan mereka.

Yah, untunglah aku adalah anak yang penurut yang tidak menuntut terlalu banyak kepada orang tuaku. Aku bukan tipe anak pembangkang yang menuntut ini itu dari orang tuaku hanya karena perasaan iri yang tidak sebanding.

Tapi, terus terang saja. Sampai sekarang kadang aku ingin merasakan jalan-jalan ke luar kota seperti yang dilakukan teman-temanku saat study tour dahulu. Untungnya aku sadar akan keadaan orang tuaku dan aku rasa. Tidak mungkin jika aku harus menuntut mereka untuk membiayai kesenanganku semata. Sementara mereka begitu keras bekerja membanting tulang hanya untuk melunasi hutang-hutang mereka.

Jadi, karena orang tua bukanlah panti sosial yang dengan mudah mengeluarkan dana usai proposal kita disetujui. Aku memutuskan untuk bersenang-senang hanya dengan uangku sendiri. 

Sampai pada suatu hari. Kalau tidak salah dua tahun yang lalu saat aku menerima bonus dari pekerjaanku sebagai operator warnet. Aku pergi ke bandung untuk bersenang-senang. Sendirian! Merasakan menjadi The Lost Traveler, dan itu rasanya sungguh menyenangkan! Jalan-jalan dengan uang hasil keringat sendiri. Percaya atau tidak tapi hal itu rasanya berbeda. Bersenang-senang dengan hasil keringat sendiri. Dibandingkan dengan hasil mengemis kepada orang tua. Rasakanlah jika kalian sudah menghasilkan sesuatu.

Yah, mungkin dari situlah idealisku mulai terbentuk. Pasca lulus SMA. Aku tidak akan pernah meminta uang lagi kepada orang tuaku. Malahan kalau bisa. Sudah menjadi kewajibanku sebagai anak tertua untuk menafkahi mereka. Bahkan untuk rencana kuliahku. Aku tidak menyertakan daftar nama orang tuaku sebagai pemberi dana beasiswa. Aku harus bisa melakukannya dengan tanganku sendiri. Aku benar-benar ingin membanggakan orang tuaku. Aku ingin mereka bahagia karena telah membesarkan seorang pemimpin di masa depan. Daripada seorang pengemis di masa kecil.

Yah, mungkin aku terlalu jauh membahas hari valentine dengan kehidupanku sendiri. Tapi, jika boleh mencoba untuk menghubungkan kembali. Rasanya tidak perlu menggunakan hari valentine sebagai sarana untuk mencari pasangan.

Apalagi bagi yang cowok-cowok. Cowok-cowok yang masih merengek minta uang kepada orang tua hanya untuk pacaran itu adalah cowok yang menyedihkan. Mereka sebegitu naifnya membelanjakan uang orang tua mereka hanya untuk membahagiakan pasangannya. Mereka menganggap mereka bisa membeli kebahagian dengan uang yang mereka terima tanpa ada sedikit kerja keras.

Mungkin sebagian dari kalian akan mengatakan jika aku hanya iri karena tidak memiliki orang tua yang berkucupan agar bisa bebas pacaran. Oke, aku terima prasangka itu. Tapi, jika ditanya dengan baik-baik. Manakah yang lebih didambakan perempuan. Seorang pekerja keras yang berusaha membahagiakan kedua orang tuanya dengan keringatnya. Atau seorang pemalas yang terus memeras keringat orang tuanya meskipun mereka telah menua hanya untuk kebahagiaanya semata?

Hum? Aku rasa. Perempuan yang berpikiran jernih akan memilih hal yang pertama. Sebab, bagaimanapun juga mereka akan memikirkan sosok ayah yang tepat sebagai contoh anaknya kelak. Meskipun sekarang mereka masih menggunakan rok pendek, main ke mall, ngerumpi dengan temannya tanpa kenal waktu, dan menganggap facebook lebih penting daripada sarapan. Suatu saat mereka akan memikirkan hal itu untuk menentukan masa depannya.

Untunglah, sekarang aku sudah bisa melakukannya. Menghasilkan uang dengan keringat sendiri. Jadi, jika ditanya kapankah aku memiliki lisensi untuk pacaran. Sebenarnya aku sudah memilikinya sekarang. Hanya saja memang aku belum laku. Hahahaha…

No comments:

Post a Comment