Wednesday 16 February 2011

Woman not a fairy


Oke, kembali lagi kita ke masalah perempuan. Yah dari dulu keliatannya gue nggak pernah lepas juga bahas masalah cewek dari zaman sebelum puber sampai pasca puber.

~emang sekarang udah habis pubernya?

-nggak juga sih, masih dalam tahap seru-serunya kok. Wakakaka!

Yah, tapi emang dari zaman nabi Adam. Masalah cewek memang jadi obrolan utama kaum cowok. Entah itu wajahnya, bodynya, sikapnya, kelakuannya, harganya, dan lain-lain. Mereka nggak pernah bisa melepaskan proyeksi payudara yang kencang, pinggang yang sexy, paha yang mulus, bibir yang ranum, dan mata yang lentik. Yah, sosok sexy itu emang sudah dicap paten di dalam otak tiap cowok untuk dicari dan dibicarakan. Terlepas mereka peduli atau tidak.

Tidak peduli mereka membicarakannya di hotel berbintang ataupun di warung lesehan. Cowok tetaplah cowok. Mereka amat, sangat peduli untuk membicarakan masalah perempuan.

Begitu juga dengan gue sendiri. Tapi, kali ini kita nggak membahas  masalah fisik cewek. Tapi, justru ke sikapnya.

Kalau masalah fisik. Yah, sudah tentulah kita bisa mendambakan sosok dewi pendamping sesuai dengan fantasi kita masing-masing. Kita bebas memilih dengan siapa nanti kita akan melangkah di dalam sebuah kehidupan bernama keluarga. Fantasi pertama saat mencari istri adalah mendapatkan istri yang cantik luar dalam. Kalem, penurut, sayang sama keluarga, solehah, dan lain-lain.

But, wait! They are not angel in the fairy tail. They just a human. Just same like us.

Semua cowok memang ingin mendapatkan perempuan cantik. Yah, perempuan cantik di dunia ini memang banyak. Tapi, yang benar-benar cantik luar dalam stoknya terbatas. Maka dari itu kadang ada pertengkaran antara cowok karena memperebutkan seorang cewek. Karena memang ya cewek berkualitas itu stoknya terbatas.

Kebayang nggak kalau semua cewek di dunia ini cantik. Terus tiap cowok kebagian jatah sendiri-sendiri buat milih dan dapet jaminan di-iya-kan oleh cewek. Wah, kalau begitu cowok udah nggak tertarik mencari surga. Di dunianya sudah terpenuhi. Ngapain jauh-jauh pergi ke surga kalau dewi-dewinya udah datang duluan di dunia?

Mungkin itu salah satu alasannya kenapa perempuan diciptakan tidak sempurna di dunia. Agar para pria itu belajar bersabar menghadapinya. Kadang ada perempuan cantik, wajahnya oval, bibirnya ranum, matanya sayu. Tapi, galaknya minta ampun. Maunya diturutin ini itu. Yah, nggak sebanding deh sama kecantikan fisiknya.

Friday 11 February 2011

My Name is Tutut, and You Can Never Change



Yah, kali ini saia pingin cerita tentang orang-orang disini. Agak berbeda dengan orang-orang Indonesia yang cuma terdiri dari satu bangsa saja. Disini termasuk negara multi-national dan tentu saja multi-ras. Tidak seperti di Indonesia yang rata-rata meskipun berbeda suku. Tapi, masih memiliki bangsa yang sama. Disini rasanya sulit sekali menemukan persamaan itu. Rata-rata orang disini adalah imigran yang berasal dari kampung halaman yang jauh. Jarang sekali aku menemukan seorang Qatri (orang asli Qatar) disini. Rata-rata mereka dari India, Nepal, Pakistan, Saudi, dan lain-lain.

Kebetulan orang Indonesia di tanah Qatar tidak sebanyak populasi manusia di Saudi yang memang nomor satu dalam hal menyetok TKI. Di Qatar orang Indonesia masih termasuk minoritas. Tidak sebanyak orang-orang dari India dan Filipina yang merupakan pendatang terbanyak di negeri ini. Bahkan, orang Qatari pun juga lebih jarang ditemui disini. Karena memang imigran lebih mendominasi kependudukan disini.
Saat pertama kali dating kesini pun aku sempat heran. Apakah aku sudah beneran berada di arab atau malah nyasar ke India. Karena disini lebih banyak kutemui orang dengan kumis yang tebal berwarna hitam daripada pria berjenggot yang memakai gamis. Dari berbagai sektor ekonomi pun demikian. Mulai dari restaurant, grocery, buruh, pelayan restorant, dan yang lainnya. Kebanyakan berasal dari India dan sekitarnya. 

Disini sulit sekali menemukan seorang pelayan toko atau pegawai restorant yang asli orang arab. Kebanyakan mereka adalah orang India dan sekitarnya. Tapi, kalau pemiliknya. Ada kemungkinan orang asli Qatari. Hanya saja mereka memperkerjakan orang-orang india sebagai pegawai mereka. Mereka cuma menginvestasikan uang mereka dan membiarkan orang dari negara lain yang bekerja. Rata-rata seperti itu. Sebab dari dulu orang arab memang terkenal piawai dalam perdagangan.

Nah, yang jadi masalah karena orang Indonesia adalah minoritas. Seringkali kami dianggap sebagai orang Filipina dan Nepal. Padahal kami nggak ada darah hubungan dengan mereka. Tapi, kalau dilihat-lihat emang mirip sih fisik kita. Kulit putih, dengan mata sedikit tipis, dan tubuh yang tak terlalu besar. Aku pun juga mengira sulit sekali membedakan mana orang Indonesia dan mana yang orang Filipina. Di jalan pun kita dipanggil “Pare” (teman dalam bahasa Filipina) sama sopir-sopir taxi yang menjajakan jasanya. 

“Pare lu peyang!” komentarku waktu ada yang bilang seperti itu. Untunglah mereka tidak mengerti (dan kalau bisa jangan sampai tahu juga). :p

Satu hal lagi yang jadi masalah adalah soal mulut. Nah, ini yang paling sensitive. Kadang mulut disini itu banyak yang nggak sesuai kosakatanya. Maklumlah, orangnya dari berbagai negara. Makanya, Tuhan ngasih mulut beda-beda ke setiap bangsa. Jadilah, salah artian.

Contohnya, namaku. Tutut. Orang disini sepertinya pada nggak diajarin caranya nyebut nama orang pakai akhiran “T”. Jadilah, aku dipanggil “Tutu, Tututu, Tututi, dll.” Agak sebel juga sih waktu denger mereka panggil dengan nama yang nggak jelas seperti itu. Tapi, karena inget kalau mereka diberi mulut yang berbeda denganku. Yah, masih bisa sabarlah.

Tapi, ada yang juga nanya gini. 

“Your name just Tutu? What is your complete name?”

~yaelah bang, ente nyebut nama depan ane aja masih cedal gitu, masak ane kasih nama lengkap. Tapi, karena orang itu begitu penasaran. Akhirnya, aku sebutin juga.

“No. My complete name are Tutut Wibowo.”

“What? Tutu Wibuwu, Tutu Wumbowo, Tututu Wambowu~”

ARRRGGHHH!!! Beneran bikin emosi deh. Supaya nggak keburu emosi. Aku jawab singkat aja.

“It’s the reason I didn’t tell you my real name. Because, I am sure you cant spell it well.”

Finish!

Nah, itu tentang nyebut nama aja. Tapi, ada yang lebih sensitive lagi kalau ditanyain soal nama dan agama. Mereka biasanya nggak begitu yakin kalau aku adalah muslim waktu ngecek nama. Contohnya, waktu ada orang asing tanya nama:

“What is your name?”

“My name is Tutut.”

“Are you a muslim?”

“Yes, I am.”

“Why your name Tutut? You should have name like a moslem like Abdullah, Ahmad, Noor, and so on.”

Waktu ditanyain gitu sebenarnya aku sebel banget! Kenapa sih mereka begitu mempersoalkan nama yang dikasih orang tua? Emang orang muslim harus punya nama arab biar dikira muslim? Emang mereka nggak pernah tahu kalau ternyata banyak anak yang dikasih nama muslim, tapi, kelakuannya kayak orang kafir? Kan kalau jadi seorang muslim yang penting adalah amal dan ibadahnya. Bukan nama yang diberikan kepada kita. Emang kalau kita dikasih nama nabi kita sudah dapet jaminan pintu di surga? Nggak kan?

Makanya dari situ aku beneran sebel. Bukan agak lagi. Tapi, super sensitive kalau ditanyain seperti itu. Aku beneran nggak suka. Titik!

Tapi, soal nama. Nggak semuanya aku nggak suka. Terkadang ada juga yang menanyakan arti namaku di dalam bahasaku sendiri. Nah, yang ini aku suka. Artinya, dia menghargai bahasa kita dan juga doa pemberian orang tua. Bukankah sebuah nama itu adalah doa dan harapan dari orang tua? 

Jadi, jangan pernah sepelekan arti dari sebuah nama. Seperti juga nama di dalam jejaring sosial. Facebook misalnya. Banyak sekali remaja zaman sekarang yang tidak menghargai nama mereka sendiri. Terlihat dari nama yang terpampang di profil mereka.

-Nana Adjah
-Ari Gitu Deh
-Syasya Lonely

Dan seabrek nama lainnya yang nggak ada artinya. Atau malah kadang mereka nggak tahu artinya. Pernah suatu ketika ada orang yang menggunakan kata “unyu” di dalam kosa katanya. Dan bahkan ia menambahkan kata “unyu” juga di namanya. Atau di dalam subjek.

Ketika aku tanya : “Emang artinya unyu apaan sih?”

“Itu artinya lucu. Ah, kamu nggak gaul sih.”

Okelah kalau aku emang nggak gaul atau apalah sebutannya. Tapi, dari sana aku sudah dapat menyimpulkan kalau dia sebenarnya nggak tahu arti kata unyu dan berusaha menyimpulkannya sendiri menurut pengetahuannya.

Kata “unyu” masih merupakan hal yang baru bagiku dan aku belum berani menggunakannya dalam kosakata harian aneh yang ada di dalam kamusku sendiri seperti “Wumbo”, “mas-mas random”, “Winnie,” dan kata-kata aneh lainnya. Bedanya aku sudah tahu asal kata-kata itu dan maksudnya. Sementara unyu ini masih blur. Soalnya, kata yang pernah aku dengar itu “punyu-munyu”. Itu kode anak-anak PJ untuk kata “bokep.” 

~ah, jadi malu kalau inget sandi itu…. :p

Jadi, yak arena aku telaah dari situ. Aku tidak ingin menggunakan kata “unyu” dulu.

Sampai pada suatu hari temenku ada yang menerjemahkan kata “unyu” di statusnya. Katanya, kata unyu itu diambil dari bahasa Sansekerta yang artinya adalah anjing. 

WAKAKAKAKAK!!!

Seketika aku ketawa ngakak nggak berhenti-berhenti gara-gara temenku yang hobi pake kata itu. Apalagi dia ngaku-ngaku kalau dia unyu~. LOL!

Berarti dia ngaku sendiri kalau dia emang anjing dong! Wakakakak!!!

Terus terang seperti itulah bahayanya kalau kita tidak tahu bahasa. Kadang bahasa baru itu bisa menyesatkan. Maka dari itu perlu ditelaah terlebih dahulu. Nama juga demikian. Nama itu adalah hal yang sensitive. Setiap orang pasti bangga dengan namanya sendiri apapun itu dan seberapa anehnya nama itu. Sebab kita juga tidak suka jika nama kita disamakan dengan sesuatu yang tidak kita sukai. Nama adalah kebanggaan seseorang.

Jangan sepelekan sebuah nama. Catat nama seseorang di kertas, handphone, atau media lain saat berkenalan. Orang tidak akan menghargai seseorang yang cuma memanggilnya dengan sebutan “kamu, mas, bapak, om, mbak, ibu.” Tapi, mereka akan lebih menghargai jika nama itu disebut. Sebab itulah kebanggan mereka.

:D

A Satire for Valentine


Oke, karena bulan ini adalah bulan februari. Mari kita bahas tentang valentine.  Hari yang biasanya terdengar begitu spesial di kalangan anaku muda yang mendambakan pasangan di hari kasih sayang. Valentine begitu mendunia sehingga anak kecil yang masih senang main prosotan pun tahu apa itu hari valentine.

Seharusnya, valentine dirayakan dengan suka cita. Karena berhubungan dengan kasih sayang, cinta dan aneka macam variasi dimensi berbentuk buah hati. Tapi, di awal bulan ini. Ada sindrom baru bernama “Galau Februari”

Entah mengapa dinamakan demikian.  Tapi, teman-teman di facebook sering menggunakan kata “Galau Februari” di status-status mereka. Dan menakjubkannya jumlahnya nggak cuma satu dua. Tapi, juga mencapai belasan.



Aku sendiri tidak tahu sejak kapan kalimat ini mulai didengungkan. Tapi, mereka sama-sama merasakan galaunya bahkan sebelum bulan februari. Entah itu ekspresi kesepian karena tidak memiliki pasangan di bulan valentine. Atau mereka cuma ikut-ikutan saja seperti aku yang kadang mengatakan galau februari di status facebook hanya sebagai kalimat iseng doang.

Ahahaha…. Yah mungkin kebanyakan seperti itu. Tapi, setelah beberapa teman yang aku survei melalui komentar di status mereka. Secara intrisik mereka mengindikasikan kalau mereka membutuhkan pasangan di bulan februari. Lucu ya? Kenapa harus mencari pacar di bulan tertentu yang bahkan tanggal merahnya begitu sedikit.
Kalau dipikir-pikir. Bulan februari tidak memiliki tanggal merah pasti seperti yang dimiliki Desember atau Januari yang sudah pasti memiliki jatah Natal dan Tahun Baru. Februari tidak memiliki tanggal merah pasti. Tanggal 14 Februari pun tidak bisa ditanggalmerahkan meskipun mereka membawa ribuan orang ke gedung DPR/MPR. Sebab itu memang bukan tradisi kita. Anehnya, iklan dan produk-produk media selalu mendengang-dengungkan tanggal 14 Februari sebagai hari kasih sayang. Entah itu melalui media film, iklan di koran, televisi, sinetron, dan seabrek media pengubah budaya sosial lainnya.

Okelah, kalau ada yang berpikiran seperti itu. Tapi, kok aku sendiri tidak begitu perhatian dengan bulan Februari. Kalau ada sebagian orang yang menganggap bulan itu spesial. Sayang sekali aku bukan golongan mereka. Kalau aku pikir dengan otak kasar. Bulan Februari nampak seperti musim kawin saja. Dimana mereka mengharuskan mencari pasangan di bulan tertentu dan melupakannya di hari-hari berikutnya. Menganggap satu bulan itu begitu penuh dengan cinta, lalu bulan lainnya diisi dengan rutintas dan penuh dengan hal yang biasa.

Yah, mungkin otak remaja zaman sekarang sudah mulai bergeser sedikit demi sedikit. Sehingga mengharuskan mereka memiliki pasangan di musim kawin (Valentine days). Terdengar kasar ya? Tapi, yah kalau aku memang menganggapnya demikian.

Kalau ada yang mengatakan hal itu disebabkan karena aku tidak pernah merasakan indahnya pacaran. Well, hal itu memang benar karena aku memang tidak pernah memikirkan pacaran dari dulu. Mungkin baru terpikir satu dua tahun belakangan ini saat aku tidak lagi menggunakan uang dari orang tua untuk memenuhi kebutuhanku. Entah itu hanya untuk makan ataupun bersenang-senang.

Terus terang aku paling tidak suka membelanjakan uang dari orang tua untuk bersenang-senang. Aku rasa hal itu terlalu egois. Aku hanya akan bersenang-senang dengan uang yang aku hasilkan sendiri. Tidak pernah aku menggunakan uang dari orang tua untuk bersenang-senang. Kecuali, aku menggantinya di kemudian hari.

Maka dari itu aku tidak pernah berpikir untuk pacaran terlebih dahulu sementara aku belum bisa menghasilkan apapun untuk diriku sendiri. Terlebih lagi untuk orang tua. Aku hanya akan menggunakan uang dari orang tua untuk makan, minum, dan keperluan yang penting-penting saja. Bukan untuk jalan-jalan, beli kartu, mentraktir teman di mall, dan sebagainya. Bahkan, hanya untuk study tour.
Percaya atau tidak. Aku tidak pernah merasakan study tour. Orang tuaku termasuk golongan tidak mampu. 
Jadi, mereka rasa study tour itu tidak begitu penting. Atau sebenarnya mereka ingin menyertakan aku di dalam study tour. Tapi, karena mereka tidak punya uang. Jadi, mereka mendoktrin diriku yang masih kecil agar mengabaikan study tour karena hanya membuang-buang uang. Hanya untuk menutupi ketidakmampuan mereka.

Yah, untunglah aku adalah anak yang penurut yang tidak menuntut terlalu banyak kepada orang tuaku. Aku bukan tipe anak pembangkang yang menuntut ini itu dari orang tuaku hanya karena perasaan iri yang tidak sebanding.

Tapi, terus terang saja. Sampai sekarang kadang aku ingin merasakan jalan-jalan ke luar kota seperti yang dilakukan teman-temanku saat study tour dahulu. Untungnya aku sadar akan keadaan orang tuaku dan aku rasa. Tidak mungkin jika aku harus menuntut mereka untuk membiayai kesenanganku semata. Sementara mereka begitu keras bekerja membanting tulang hanya untuk melunasi hutang-hutang mereka.

Jadi, karena orang tua bukanlah panti sosial yang dengan mudah mengeluarkan dana usai proposal kita disetujui. Aku memutuskan untuk bersenang-senang hanya dengan uangku sendiri. 

Sampai pada suatu hari. Kalau tidak salah dua tahun yang lalu saat aku menerima bonus dari pekerjaanku sebagai operator warnet. Aku pergi ke bandung untuk bersenang-senang. Sendirian! Merasakan menjadi The Lost Traveler, dan itu rasanya sungguh menyenangkan! Jalan-jalan dengan uang hasil keringat sendiri. Percaya atau tidak tapi hal itu rasanya berbeda. Bersenang-senang dengan hasil keringat sendiri. Dibandingkan dengan hasil mengemis kepada orang tua. Rasakanlah jika kalian sudah menghasilkan sesuatu.

Yah, mungkin dari situlah idealisku mulai terbentuk. Pasca lulus SMA. Aku tidak akan pernah meminta uang lagi kepada orang tuaku. Malahan kalau bisa. Sudah menjadi kewajibanku sebagai anak tertua untuk menafkahi mereka. Bahkan untuk rencana kuliahku. Aku tidak menyertakan daftar nama orang tuaku sebagai pemberi dana beasiswa. Aku harus bisa melakukannya dengan tanganku sendiri. Aku benar-benar ingin membanggakan orang tuaku. Aku ingin mereka bahagia karena telah membesarkan seorang pemimpin di masa depan. Daripada seorang pengemis di masa kecil.

Yah, mungkin aku terlalu jauh membahas hari valentine dengan kehidupanku sendiri. Tapi, jika boleh mencoba untuk menghubungkan kembali. Rasanya tidak perlu menggunakan hari valentine sebagai sarana untuk mencari pasangan.

Apalagi bagi yang cowok-cowok. Cowok-cowok yang masih merengek minta uang kepada orang tua hanya untuk pacaran itu adalah cowok yang menyedihkan. Mereka sebegitu naifnya membelanjakan uang orang tua mereka hanya untuk membahagiakan pasangannya. Mereka menganggap mereka bisa membeli kebahagian dengan uang yang mereka terima tanpa ada sedikit kerja keras.

Mungkin sebagian dari kalian akan mengatakan jika aku hanya iri karena tidak memiliki orang tua yang berkucupan agar bisa bebas pacaran. Oke, aku terima prasangka itu. Tapi, jika ditanya dengan baik-baik. Manakah yang lebih didambakan perempuan. Seorang pekerja keras yang berusaha membahagiakan kedua orang tuanya dengan keringatnya. Atau seorang pemalas yang terus memeras keringat orang tuanya meskipun mereka telah menua hanya untuk kebahagiaanya semata?

Hum? Aku rasa. Perempuan yang berpikiran jernih akan memilih hal yang pertama. Sebab, bagaimanapun juga mereka akan memikirkan sosok ayah yang tepat sebagai contoh anaknya kelak. Meskipun sekarang mereka masih menggunakan rok pendek, main ke mall, ngerumpi dengan temannya tanpa kenal waktu, dan menganggap facebook lebih penting daripada sarapan. Suatu saat mereka akan memikirkan hal itu untuk menentukan masa depannya.

Untunglah, sekarang aku sudah bisa melakukannya. Menghasilkan uang dengan keringat sendiri. Jadi, jika ditanya kapankah aku memiliki lisensi untuk pacaran. Sebenarnya aku sudah memilikinya sekarang. Hanya saja memang aku belum laku. Hahahaha…

Yang Dingin dan Yang Panas




Yooo… malam ini kita bakal wisata kuliner lagi. Beli Qubes Iranian di Souq Waqif. Yah, sebenarnya tempatnya agak jauh sih. Sekitar dua tiga kilolah dari kantor. Tapi, nggak papa. Demi memenuhi hasat perut yang mulai keroncongan.

Udara malam kali ini sebenarnya cukup dingin sih. Mengingat sekarang masih di awal Februari dan sepertinya angin dingin musim dingin masih suka bermain di kota Doha. Tapi, memang tidak seperah beberapa pekan lalu sih yang mencapai angka belasan derajat celcius. Kali ini lebih hangatlah dari sebelumnya. Tapi, tetap saja. DINGIN!

Aku sebenarnya tidak pernah menyangka kalau di Qatar bisa dingin seperti ini. Mengingat setengah tahun kemarin saat kita baru saja tiba di Qatar. Udara begitu PANAS! Benar-benar panas. Bahkan mungkin hampir mencapai  lima puluh derajat. Air keran saja sampai mendidih. Kita bahkan harus menyimpan air di dalam ember terlebih dahulu untuk mendinginkannya. Sebab kulit kita bisa terkelupas jika mandi dengan air yang mendidih seperti itu.
Yah, keliatannya memang lebay sih. Tapi, musim panas disini benar-benar parah. Hidung saja sampai sulit buat bernafas saking panasnya. Mata tidak bisa melihat jelas saking teriknya. AC merupakan sebuah benda wajib yang HARUS ada di setiap ruangan. Tidak boleh tidak. Jika, kita masih ingin hidup disini.
Sebaliknya, di musim dingin cuaca benar-benar dingin. Semuanya terasa dingin saat disentuh. Aku tidak pernah berpikir akan ada musim seperti ini di negeri Arab yang terkenal dengan gurun dan panasnya. Aku benar-benar tidak menyangka jika di gurun bisa juga dingin seperti ini. Aku pikir karena musim panasnya saja seperti itu. Maka musim dinginnya tidak akan terlalu berbeda jauh. Namun, sepertinya pernyataan itu salah besar. Musim dingin disini benar-benar dingin. Berbeda terbalik dengan musim panasnya yang benar-benar panas.

Jika aku banding-bandingkan dengan Indonesia. Memang cuaca disini cenderung lebih stabil. Artinya, jika pagi sudah cerah. Maka sepanjang hari memang cerah. Tapi, jika paginya sudah mendung. Sudah pasti nanti siang akan hujan. Berbeda terbalik dengan Indonesia yang bisa berubah-ubah hanya dalam hitungan menit.
Selain itu cuaca disini juga lebih ekstrem daripada di Indonesia. Jika, dibandingkan antara titik panas dan dinginnya. Di Qatar selisih hamper sekitar 40 derajat. Antara musim panas dengan musim dinginnya. Berbeda dengan negara tropis yang paling hanya sekitar 20 derajat perbedaannya. 

Yah, seperti itulah perbandingan suhu antara negara kita dengan negara arab. Kalau disini musim panasnya bisa sampai bikin telur dadar. Di Indonesia masih bisa ditolerir dengan berteduh di bawah pohon.
Kalau disini musim dinginnya begitu menggigit. Bersyukurlah di Indonesia masih bisa menghangatkan diri di dalam rumah.

***