Friday 11 February 2011

My Name is Tutut, and You Can Never Change



Yah, kali ini saia pingin cerita tentang orang-orang disini. Agak berbeda dengan orang-orang Indonesia yang cuma terdiri dari satu bangsa saja. Disini termasuk negara multi-national dan tentu saja multi-ras. Tidak seperti di Indonesia yang rata-rata meskipun berbeda suku. Tapi, masih memiliki bangsa yang sama. Disini rasanya sulit sekali menemukan persamaan itu. Rata-rata orang disini adalah imigran yang berasal dari kampung halaman yang jauh. Jarang sekali aku menemukan seorang Qatri (orang asli Qatar) disini. Rata-rata mereka dari India, Nepal, Pakistan, Saudi, dan lain-lain.

Kebetulan orang Indonesia di tanah Qatar tidak sebanyak populasi manusia di Saudi yang memang nomor satu dalam hal menyetok TKI. Di Qatar orang Indonesia masih termasuk minoritas. Tidak sebanyak orang-orang dari India dan Filipina yang merupakan pendatang terbanyak di negeri ini. Bahkan, orang Qatari pun juga lebih jarang ditemui disini. Karena memang imigran lebih mendominasi kependudukan disini.
Saat pertama kali dating kesini pun aku sempat heran. Apakah aku sudah beneran berada di arab atau malah nyasar ke India. Karena disini lebih banyak kutemui orang dengan kumis yang tebal berwarna hitam daripada pria berjenggot yang memakai gamis. Dari berbagai sektor ekonomi pun demikian. Mulai dari restaurant, grocery, buruh, pelayan restorant, dan yang lainnya. Kebanyakan berasal dari India dan sekitarnya. 

Disini sulit sekali menemukan seorang pelayan toko atau pegawai restorant yang asli orang arab. Kebanyakan mereka adalah orang India dan sekitarnya. Tapi, kalau pemiliknya. Ada kemungkinan orang asli Qatari. Hanya saja mereka memperkerjakan orang-orang india sebagai pegawai mereka. Mereka cuma menginvestasikan uang mereka dan membiarkan orang dari negara lain yang bekerja. Rata-rata seperti itu. Sebab dari dulu orang arab memang terkenal piawai dalam perdagangan.

Nah, yang jadi masalah karena orang Indonesia adalah minoritas. Seringkali kami dianggap sebagai orang Filipina dan Nepal. Padahal kami nggak ada darah hubungan dengan mereka. Tapi, kalau dilihat-lihat emang mirip sih fisik kita. Kulit putih, dengan mata sedikit tipis, dan tubuh yang tak terlalu besar. Aku pun juga mengira sulit sekali membedakan mana orang Indonesia dan mana yang orang Filipina. Di jalan pun kita dipanggil “Pare” (teman dalam bahasa Filipina) sama sopir-sopir taxi yang menjajakan jasanya. 

“Pare lu peyang!” komentarku waktu ada yang bilang seperti itu. Untunglah mereka tidak mengerti (dan kalau bisa jangan sampai tahu juga). :p

Satu hal lagi yang jadi masalah adalah soal mulut. Nah, ini yang paling sensitive. Kadang mulut disini itu banyak yang nggak sesuai kosakatanya. Maklumlah, orangnya dari berbagai negara. Makanya, Tuhan ngasih mulut beda-beda ke setiap bangsa. Jadilah, salah artian.

Contohnya, namaku. Tutut. Orang disini sepertinya pada nggak diajarin caranya nyebut nama orang pakai akhiran “T”. Jadilah, aku dipanggil “Tutu, Tututu, Tututi, dll.” Agak sebel juga sih waktu denger mereka panggil dengan nama yang nggak jelas seperti itu. Tapi, karena inget kalau mereka diberi mulut yang berbeda denganku. Yah, masih bisa sabarlah.

Tapi, ada yang juga nanya gini. 

“Your name just Tutu? What is your complete name?”

~yaelah bang, ente nyebut nama depan ane aja masih cedal gitu, masak ane kasih nama lengkap. Tapi, karena orang itu begitu penasaran. Akhirnya, aku sebutin juga.

“No. My complete name are Tutut Wibowo.”

“What? Tutu Wibuwu, Tutu Wumbowo, Tututu Wambowu~”

ARRRGGHHH!!! Beneran bikin emosi deh. Supaya nggak keburu emosi. Aku jawab singkat aja.

“It’s the reason I didn’t tell you my real name. Because, I am sure you cant spell it well.”

Finish!

Nah, itu tentang nyebut nama aja. Tapi, ada yang lebih sensitive lagi kalau ditanyain soal nama dan agama. Mereka biasanya nggak begitu yakin kalau aku adalah muslim waktu ngecek nama. Contohnya, waktu ada orang asing tanya nama:

“What is your name?”

“My name is Tutut.”

“Are you a muslim?”

“Yes, I am.”

“Why your name Tutut? You should have name like a moslem like Abdullah, Ahmad, Noor, and so on.”

Waktu ditanyain gitu sebenarnya aku sebel banget! Kenapa sih mereka begitu mempersoalkan nama yang dikasih orang tua? Emang orang muslim harus punya nama arab biar dikira muslim? Emang mereka nggak pernah tahu kalau ternyata banyak anak yang dikasih nama muslim, tapi, kelakuannya kayak orang kafir? Kan kalau jadi seorang muslim yang penting adalah amal dan ibadahnya. Bukan nama yang diberikan kepada kita. Emang kalau kita dikasih nama nabi kita sudah dapet jaminan pintu di surga? Nggak kan?

Makanya dari situ aku beneran sebel. Bukan agak lagi. Tapi, super sensitive kalau ditanyain seperti itu. Aku beneran nggak suka. Titik!

Tapi, soal nama. Nggak semuanya aku nggak suka. Terkadang ada juga yang menanyakan arti namaku di dalam bahasaku sendiri. Nah, yang ini aku suka. Artinya, dia menghargai bahasa kita dan juga doa pemberian orang tua. Bukankah sebuah nama itu adalah doa dan harapan dari orang tua? 

Jadi, jangan pernah sepelekan arti dari sebuah nama. Seperti juga nama di dalam jejaring sosial. Facebook misalnya. Banyak sekali remaja zaman sekarang yang tidak menghargai nama mereka sendiri. Terlihat dari nama yang terpampang di profil mereka.

-Nana Adjah
-Ari Gitu Deh
-Syasya Lonely

Dan seabrek nama lainnya yang nggak ada artinya. Atau malah kadang mereka nggak tahu artinya. Pernah suatu ketika ada orang yang menggunakan kata “unyu” di dalam kosa katanya. Dan bahkan ia menambahkan kata “unyu” juga di namanya. Atau di dalam subjek.

Ketika aku tanya : “Emang artinya unyu apaan sih?”

“Itu artinya lucu. Ah, kamu nggak gaul sih.”

Okelah kalau aku emang nggak gaul atau apalah sebutannya. Tapi, dari sana aku sudah dapat menyimpulkan kalau dia sebenarnya nggak tahu arti kata unyu dan berusaha menyimpulkannya sendiri menurut pengetahuannya.

Kata “unyu” masih merupakan hal yang baru bagiku dan aku belum berani menggunakannya dalam kosakata harian aneh yang ada di dalam kamusku sendiri seperti “Wumbo”, “mas-mas random”, “Winnie,” dan kata-kata aneh lainnya. Bedanya aku sudah tahu asal kata-kata itu dan maksudnya. Sementara unyu ini masih blur. Soalnya, kata yang pernah aku dengar itu “punyu-munyu”. Itu kode anak-anak PJ untuk kata “bokep.” 

~ah, jadi malu kalau inget sandi itu…. :p

Jadi, yak arena aku telaah dari situ. Aku tidak ingin menggunakan kata “unyu” dulu.

Sampai pada suatu hari temenku ada yang menerjemahkan kata “unyu” di statusnya. Katanya, kata unyu itu diambil dari bahasa Sansekerta yang artinya adalah anjing. 

WAKAKAKAKAK!!!

Seketika aku ketawa ngakak nggak berhenti-berhenti gara-gara temenku yang hobi pake kata itu. Apalagi dia ngaku-ngaku kalau dia unyu~. LOL!

Berarti dia ngaku sendiri kalau dia emang anjing dong! Wakakakak!!!

Terus terang seperti itulah bahayanya kalau kita tidak tahu bahasa. Kadang bahasa baru itu bisa menyesatkan. Maka dari itu perlu ditelaah terlebih dahulu. Nama juga demikian. Nama itu adalah hal yang sensitive. Setiap orang pasti bangga dengan namanya sendiri apapun itu dan seberapa anehnya nama itu. Sebab kita juga tidak suka jika nama kita disamakan dengan sesuatu yang tidak kita sukai. Nama adalah kebanggaan seseorang.

Jangan sepelekan sebuah nama. Catat nama seseorang di kertas, handphone, atau media lain saat berkenalan. Orang tidak akan menghargai seseorang yang cuma memanggilnya dengan sebutan “kamu, mas, bapak, om, mbak, ibu.” Tapi, mereka akan lebih menghargai jika nama itu disebut. Sebab itulah kebanggan mereka.

:D

No comments:

Post a Comment